Generasi Hutatinggir

Generasi Hutatinggir
WELL COME TO HUTATINGGIR ST@R

Senin, 13 Mei 2013

PAROKI ST. FRANSISKUS ASSISI SARIBUDOLOK:
LADANG PANGGILAN
TERSUBUR
(Tulisan dalam rangka Jubileum Paroki Seribudolok)

Tak hanya lahan pertanian, peternakan serta perikanan yung luas yang menandakan kesuburan paroki st. Fansiskui Assisi Saribudolok ini. Panggilan hidup meniadi biarawan-hiarawati meniadi ikon kesuburan paroki ini dalam tata kehidupan menggereia Katolik Tentu ini semua tak terlepas dari peran dan perjuangan Oppung Dolok dan vetetan-veteran Gereia.


AWAL KEHADIRAN MISI


1. Tahap Awal: Pastor non Pribumi (tahun 1935 - 1970)


Gereja Katolik Paroki Saribudolo, dirintis dan dikembangkan oleh Misionaris Kapusin Provinsi Belanda, P. Elpidius van Duijnhoven, OFMCap. Pada 16 Februari 1934 P. Elpidius tiba di Belawan, kemudian ditempatkan di Pematangsiantar. Pada 1935 pemerintah Belanda secara resmi mengizinkan misi Katolik masuk ke Tanah Batak. P. Elpidius berorientasi dan bermisi di


daerah Simalungun sebelah Utara dan Timur Danau Toba. Tahun inilah yang dianggap menjadi tahun resmi kehadiran Gereja Katolik di Paroki Saribudolok.


Karena masih sangat terbatas dalam penguasaan bahasa dan Peta daerah, melihat kesempatan sudah terbuka untuk misi Katolik, P. Elpidius merekrut Kenan Mase Hutabarat menjadi 'guru" bahasa, katekis sekaligus rekan dalam bermisi. Ia juga merekrut Laur Viator Hutabarat.


Misi ke Paroki Saribudolok diawali di Saba Dua, sekitar 7 km dari Pematangsiantar. Pada masa ini penduduk daerah Simalungun secara umum masih menganut agama tradisional, hanya sebagian kecil yang sudah beragama Protestan.


Selama 3 tahun P. ElPidius mempelajari daerah Simalungun Atas. Sambil mengamati Prospek misi ternyata ia sudah mulai mendirikan beberapa stasi, 40 - 60 km dari Saba Dua. Sungguh menakjubkan bahwa dalam waktu yang masih sangat.singkat permulaan misinva. yakni Pada 24

November 1935, P. ElPidius telah mengadakan pembaptisan pertama di Haranggaol terhadap Maknir Paulus Sihaloho.

Sebenamya pada masa awal misi, daerah Simalungun Atas tidak hanya dilayani oleh P. Elpidius, tetapi juga oleh P. Nepomucenus Hamer, OFMCaP. yang datang dari Sidikalang. Mereka sungguh menjadi duet misionaris yang handal, bukan hanya di daerah Simalungun tetapi sampai ke Tanah Karo dan Aceh Tenggara. Namun ingatan dan cerita tentang P. Hamers pelan-pelan

redup di ranah Simalungun karena pada akhir tahun 1939 ia lebih memusatkan perhatian di Sidikalang dan tinggal menetap di sana. P. Elpidius pun tinggal sendirian. Walau sendiri, namun naluri misi P. Elpidius tetap menggelora. Dia segera mengatasi kesendiriah itu dengan mendidik dan merekrut tenaga awam (katekis) Pribumi untuk mendukung karya misinya.

Bersama Petrus Datubara, ayah dari Uskup Emeritus KAM, Mgr. Pius Datubara, P. ElPidius mengunjungi stasi-stasi secara teratur dan umat Katolik pun terus bertambah. Melihat perkembangan ini, dipikirkan membuka pusat pelayanan di daerah Saribudolok yang merupakan Pusat Perdagangan dan letaknya cukup sentral antara Pematangsiantar dan Aceh Tenggara. Kebetulan pula di Saribudolok sudah ada stasi kecil. Stasi inilah Yang menjadi pusat kegiatan gerejani bagi P. Elpidius pada awalnya.


Melihat Prospek misi Yang semakin terbuka dan cerah tahun 1951 ia memohon Pengutusan katekis kepada Uskup Medan, Mgr. Ferrerius van Den Hurk. Uskup pun mencoPot "katekis tentara" dari Medan, yakni Bonaventura Yaep Lin Hin atau lebih dikenal Bonaventura. Kemudian mengutusnya ke Saribudolok untuk membantu P. Elpidius. Begitu cintanya umat dan massarakat kepada Bonaventura, ia pun dinobatkan bermarga Purba.


Dalam Periode l95l – 1973 bersama para misionaris hampir 50-an stasi telah mereka dirikan. Dengan perkembangan umat yang begitu pesat dan luasnya wilayah penggembalaan P. Elpidius merasa tidak sanggup bekerja sendiri. Selain dibantu oleh katekis, akhimya ia juga dibantu oleh

misionaris lainnya, yakni P. Hendricus Blaijs, OFMCap. (November 1963 -April 1968) dan P. Evaristus Albers, OFMCap. (Februari 1966 – Agustus 1974).

Perkembangan paroki bukan hanya dalam jumlah umat tetapi juga pertumbuhan dan perkembangan panggilan menjadi biarawan-biarawati. Panggilan hidup menjadi biarawan-biarawati bertumbuh amat subur. Tepatnya pada 01 Agustus 1950 beberapa putri Paroki Saribudolok menjadi suster, di antaranva Sr. Bernadetta Saragih, KSSY dari Stasl Haranggaol, Sr. Marietta purba, KSSY dan Sr. Yosefine Batubara, KSSy yang keduanya berasal dari Stasi Purbasaribu. Mereka menjadi putri Paroki Saribudolok yang pertama sekali menjadi suster. Dari mereka bertiga, kini hanya Sr. Bernadetta Saragih, KSSY yang masih berjiarah di dunia ini. Sementara itu, pada 0l Agustus 1961 seorangputra Paroki Saribudolok telah masuk novisiat hingga ditahbiskan menjadi imam. Dialah P. Thomas Saragi, OFMCap. Yang menjadi imam pertama dan ditahbiskan pada l0 Februari I 968.


2. Masa transisi: Pastor non pribumi - Pastor Pribumi (tahun 1970 - 1985)

Secara umum bukan hanya umat yang bertambah pesat, panggilan untuk menjadi calon biarawan-biarawati juga bertumbuh dengan subur. Imam-imam pribumi mulai muncul. Maka sejak Juli 1970 Paroki Saribudolok tidak lagi hanya dilayani oleh pastor-pastor dari Belanda tetapi juga para pastor pribumi. Pastor pribumi yang pertama sekali berkarya di Paroki Saribudolok adalah P. Fidelis Sihotang, OFMCap.

3. Tahap Ketiga : Pastor pribumi (tahun 1985 * 1991)

Seiring dengan perjalanan waktu, usia PastorElpidius semakin lanjut dan misionaris dari Belanda pun semakin berkurang. Tugas kegembalaan pun harus diemban oleh pastor pribumi. Bahkan pada periode ini sebagai tanggungjawab umat terhadap keberadaan imam, cukup banyak umat yang menyekolahkan anaknya ke Seminari untuk dididik menjadi imam. Hingga tahun 2010, anak paroki Saribudolok telah 23 orang ditahbiskan menjadi imam,2 diakon, 4 bruder yang
telah berkaul kekal, 150-an suster yang tersebar di berbagai kongregasi/tarekat dan masih banyak lagi calon-calon imam dan suster yang sedang belajar di seminari menengah, seminari tinggi dan novisiat. Umat Paroki Saribudolok sungguh bangga bila anak-anaknya terpanggil menjadi biarawan dan biarawati.

4. Tahap Keempat : Dewan pastoral Paroki (tahun I99I - sekarang)

Sesudah sekitar 56 tahun berkarya, P. Elpidius telah “tiada” dan kepemimpinan paroki telah diemban para pastor pribumi. Paroki Saribudolok pun dianggap telah dewasa. Sebagai pengikut Kristus, Gereja sungguh sadar bahwa Tuhan tidak hadir secara fisik dan menuntun umat dengan perintah nyata sebagaimana lazimnya seorang guru, namun sungguh percaya akan kehadiran Kristus secara batiniah dan pendampingan Roh Kudus. Maka DPP disahkan dan dikukuhkan dalam jabatan kepemimpinan kolegalial dan beberapa karunia pelayanan juga dilembagakan untuk memelihara tata tertib dan melestarikan kesinambungan.

Maka pada tahun 1990 dibentuklah Dewan Pastoral Paroki (DPP). Dengan adanya DPP, penggembalaan paroki bukan lagi hanya ditanggungjawabi oleh para pastor melainkan bersama

awam yang dianggap mampu dan berdedikasi.

Seiring dengan perjalanan waktu, Paroki Saribudolok pun menunjukkan pertumbuhan jumlah umat yang amat signifikan. Tercatat per 31 Desember 2009, Paroki Saribudolok telah berjumlah 61 stasi dan 5 persiapan stasi, yakni: Mardingding (31 KK), BagotRaja(15 KK), Hoppoan(18 KK), SinarBaru (20 KK), Gaja pokki (lS KK). Jadi, praktisnya Paroki Saribudolok terdiri dari 66 stasi. Dengan jumlah umat30.553jiwa . Selain karya dalam pewartaan iman, paroki ini juga telah lama bergerak dalam karya kesehatan dan karya pendidikan. Karya kesehatan, yakni Poliklinik St. Fransiskus (dikelola para suster SFD). Karya pendidikan, antara lain: TK St, Maria (dikelola para suster SFD); SD Don Bosco, SMp Bunda Mulia, SMP St. Agustinus dan SMA Duijnhoven yang dikelola yayasan St. Yosef Medan. Untuk mendukung sekolah ini didirikan asrama putera

yang dikelola oleh Kapusin provinsi Medan dan asrama puteri oleh para suster SFD.

Di Paroki Saribudolok terdapat tiga latar belakang budaya dominan, yakni Simalungun, Karo dan Toba. Baik dari segi adat maupun bahasa, ketiga budaya ini tetap saling mempengaruhi satu samalain. Akan tetapi di pihak lain sebagai gereja, kita juga perlu menjaga dan mengembangkan budaya Simalungun dalam terang iman Katolik. Jika budaya Simalungun ingin dikembangkan, Pematang Raya menjadi pilihan tempat yang perlu diperhatikan.


Setelah beberapa tahun terakhir, dengan jadinya Pematang Raya menjadi ibu kota Kabupaten

Simalungun, pemikiran ke arah Pemekaran Paroki Raya semakin berhembus kencang. Situasi sekarang menunjukkan bahwa Kota pematang Raya terus berkembang dan bertumbuh pesat. Kota Pematang Raya telah menjadi salah satu pusat “pergerakan orang" di Simalungun; pergerakan ekonomi, pemerintahan, politik, social budaya, pendidikan, informasi dan sebagainya. Dengan belum hadimya Gereja Katolik sebagai paroki di Ibu Kota Kabupaten Simahungun, kita tidak tahu informasi tentang pergerakan berbagai hal yang ada di tengah masyarakat, misalnya informasi politik dan pembangunan. Akhirnya kita diam sehingga tidak diperhitungkan dalam pemerintahan.(AGM)

3 komentar:

  1. Sampai saat ini perkembangan itu masih memberikan kegembiraan untuk Gereja Katolik di Keuskupan Agung Medan dan tentu juga di Wilayah Simalungun. Namun terkadang ada juga muncul pertanyaan "Masihkah akan berlanjut perkembangan seperti itu ke masa depan mengingat kuatnya tantangan dari dunia sekular masa kini?" Apa kiranya yang mesti dibuat untuk mengantisipasi hal tersebut? Untuk menjawab ini perlu refleksi dan studi yang terus-menerus atas situasi hidup dan tingkat keimanan iman umat di Paroki St. Fransiskus Seribudolok.

    BalasHapus
  2. Mari kita dukung untuk Simalungun lebih baik.....
    https://bonapetruspurba.wordpress.com/

    BalasHapus