PAROKI ST. FRANSISKUS ASSISI SARIBUDOLOK:
LADANG PANGGILAN
TERSUBUR
(Tulisan dalam rangka Jubileum Paroki Seribudolok)
Tak hanya lahan pertanian, peternakan serta perikanan yung luas yang
menandakan kesuburan paroki st. Fansiskui Assisi Saribudolok ini.
Panggilan hidup meniadi biarawan-hiarawati meniadi ikon kesuburan paroki
ini dalam tata kehidupan menggereia Katolik Tentu ini semua tak
terlepas dari peran dan perjuangan Oppung Dolok dan vetetan-veteran
Gereia.
AWAL KEHADIRAN MISI
1. Tahap Awal: Pastor non Pribumi (tahun 1935 - 1970)
Gereja Katolik Paroki Saribudolo, dirintis dan dikembangkan oleh
Misionaris Kapusin Provinsi Belanda, P. Elpidius van Duijnhoven, OFMCap.
Pada 16 Februari 1934 P. Elpidius tiba di Belawan, kemudian ditempatkan
di Pematangsiantar. Pada 1935 pemerintah Belanda secara resmi
mengizinkan misi Katolik masuk ke Tanah Batak. P. Elpidius berorientasi
dan bermisi di
daerah Simalungun sebelah Utara dan Timur Danau
Toba. Tahun inilah yang dianggap menjadi tahun resmi kehadiran Gereja
Katolik di Paroki Saribudolok.
Karena masih sangat terbatas
dalam penguasaan bahasa dan Peta daerah, melihat kesempatan sudah
terbuka untuk misi Katolik, P. Elpidius merekrut Kenan Mase Hutabarat
menjadi 'guru" bahasa, katekis sekaligus rekan dalam bermisi. Ia juga
merekrut Laur Viator Hutabarat.
Misi ke Paroki Saribudolok
diawali di Saba Dua, sekitar 7 km dari Pematangsiantar. Pada masa ini
penduduk daerah Simalungun secara umum masih menganut agama tradisional,
hanya sebagian kecil yang sudah beragama Protestan.
Selama 3
tahun P. ElPidius mempelajari daerah Simalungun Atas. Sambil mengamati
Prospek misi ternyata ia sudah mulai mendirikan beberapa stasi, 40 - 60
km dari Saba Dua. Sungguh menakjubkan bahwa dalam waktu yang masih
sangat.singkat permulaan misinva. yakni Pada 24
November 1935, P. ElPidius telah mengadakan pembaptisan pertama di Haranggaol terhadap Maknir Paulus Sihaloho.
Sebenamya pada masa awal misi, daerah Simalungun Atas tidak hanya
dilayani oleh P. Elpidius, tetapi juga oleh P. Nepomucenus Hamer,
OFMCaP. yang datang dari Sidikalang. Mereka sungguh menjadi duet
misionaris yang handal, bukan hanya di daerah Simalungun tetapi sampai
ke Tanah Karo dan Aceh Tenggara. Namun ingatan dan cerita tentang P.
Hamers pelan-pelan
redup di ranah Simalungun karena pada akhir tahun
1939 ia lebih memusatkan perhatian di Sidikalang dan tinggal menetap di
sana. P. Elpidius pun tinggal sendirian. Walau sendiri, namun naluri
misi P. Elpidius tetap menggelora. Dia segera mengatasi kesendiriah itu
dengan mendidik dan merekrut tenaga awam (katekis) Pribumi untuk
mendukung karya misinya.
Bersama Petrus Datubara, ayah dari
Uskup Emeritus KAM, Mgr. Pius Datubara, P. ElPidius mengunjungi
stasi-stasi secara teratur dan umat Katolik pun terus bertambah. Melihat
perkembangan ini, dipikirkan membuka pusat pelayanan di daerah
Saribudolok yang merupakan Pusat Perdagangan dan letaknya cukup sentral
antara Pematangsiantar dan Aceh Tenggara. Kebetulan pula di Saribudolok
sudah ada stasi kecil. Stasi inilah Yang menjadi pusat kegiatan gerejani
bagi P. Elpidius pada awalnya.
Melihat Prospek misi Yang
semakin terbuka dan cerah tahun 1951 ia memohon Pengutusan katekis
kepada Uskup Medan, Mgr. Ferrerius van Den Hurk. Uskup pun mencoPot
"katekis tentara" dari Medan, yakni Bonaventura Yaep Lin Hin atau lebih
dikenal Bonaventura. Kemudian mengutusnya ke Saribudolok untuk membantu
P. Elpidius. Begitu cintanya umat dan massarakat kepada Bonaventura, ia
pun dinobatkan bermarga Purba.
Dalam Periode l95l – 1973
bersama para misionaris hampir 50-an stasi telah mereka dirikan. Dengan
perkembangan umat yang begitu pesat dan luasnya wilayah penggembalaan P.
Elpidius merasa tidak sanggup bekerja sendiri. Selain dibantu oleh
katekis, akhimya ia juga dibantu oleh
misionaris lainnya, yakni P.
Hendricus Blaijs, OFMCap. (November 1963 -April 1968) dan P. Evaristus
Albers, OFMCap. (Februari 1966 – Agustus 1974).
Perkembangan
paroki bukan hanya dalam jumlah umat tetapi juga pertumbuhan dan
perkembangan panggilan menjadi biarawan-biarawati. Panggilan hidup
menjadi biarawan-biarawati bertumbuh amat subur. Tepatnya pada 01
Agustus 1950 beberapa putri Paroki Saribudolok menjadi suster, di
antaranva Sr. Bernadetta Saragih, KSSY dari Stasl Haranggaol, Sr.
Marietta purba, KSSY dan Sr. Yosefine Batubara, KSSy yang keduanya
berasal dari Stasi Purbasaribu. Mereka menjadi putri Paroki Saribudolok
yang pertama sekali menjadi suster. Dari mereka bertiga, kini hanya Sr.
Bernadetta Saragih, KSSY yang masih berjiarah di dunia ini. Sementara
itu, pada 0l Agustus 1961 seorangputra Paroki Saribudolok telah masuk
novisiat hingga ditahbiskan menjadi imam. Dialah P. Thomas Saragi,
OFMCap. Yang menjadi imam pertama dan ditahbiskan pada l0 Februari I
968.
2. Masa transisi: Pastor non pribumi - Pastor Pribumi (tahun 1970 - 1985)
Secara umum bukan hanya umat yang bertambah pesat, panggilan untuk
menjadi calon biarawan-biarawati juga bertumbuh dengan subur. Imam-imam
pribumi mulai muncul. Maka sejak Juli 1970 Paroki Saribudolok tidak lagi
hanya dilayani oleh pastor-pastor dari Belanda tetapi juga para pastor
pribumi. Pastor pribumi yang pertama sekali berkarya di Paroki
Saribudolok adalah P. Fidelis Sihotang, OFMCap.
3. Tahap Ketiga : Pastor pribumi (tahun 1985 * 1991)
Seiring dengan perjalanan waktu, usia PastorElpidius semakin lanjut dan
misionaris dari Belanda pun semakin berkurang. Tugas kegembalaan pun
harus diemban oleh pastor pribumi. Bahkan pada periode ini sebagai
tanggungjawab umat terhadap keberadaan imam, cukup banyak umat yang
menyekolahkan anaknya ke Seminari untuk dididik menjadi imam. Hingga
tahun 2010, anak paroki Saribudolok telah 23 orang ditahbiskan menjadi
imam,2 diakon, 4 bruder yang
telah berkaul kekal, 150-an suster yang
tersebar di berbagai kongregasi/tarekat dan masih banyak lagi
calon-calon imam dan suster yang sedang belajar di seminari menengah,
seminari tinggi dan novisiat. Umat Paroki Saribudolok sungguh bangga
bila anak-anaknya terpanggil menjadi biarawan dan biarawati.
4. Tahap Keempat : Dewan pastoral Paroki (tahun I99I - sekarang)
Sesudah sekitar 56 tahun berkarya, P. Elpidius telah “tiada” dan
kepemimpinan paroki telah diemban para pastor pribumi. Paroki
Saribudolok pun dianggap telah dewasa. Sebagai pengikut Kristus, Gereja
sungguh sadar bahwa Tuhan tidak hadir secara fisik dan menuntun umat
dengan perintah nyata sebagaimana lazimnya seorang guru, namun sungguh
percaya akan kehadiran Kristus secara batiniah dan pendampingan Roh
Kudus. Maka DPP disahkan dan dikukuhkan dalam jabatan kepemimpinan
kolegalial dan beberapa karunia pelayanan juga dilembagakan untuk
memelihara tata tertib dan melestarikan kesinambungan.
Maka
pada tahun 1990 dibentuklah Dewan Pastoral Paroki (DPP). Dengan adanya
DPP, penggembalaan paroki bukan lagi hanya ditanggungjawabi oleh para
pastor melainkan bersama
awam yang dianggap mampu dan berdedikasi.
Seiring dengan perjalanan waktu, Paroki Saribudolok pun menunjukkan
pertumbuhan jumlah umat yang amat signifikan. Tercatat per 31 Desember
2009, Paroki Saribudolok telah berjumlah 61 stasi dan 5 persiapan stasi,
yakni: Mardingding (31 KK), BagotRaja(15 KK), Hoppoan(18 KK), SinarBaru
(20 KK), Gaja pokki (lS KK). Jadi, praktisnya Paroki Saribudolok
terdiri dari 66 stasi. Dengan jumlah umat30.553jiwa . Selain karya dalam
pewartaan iman, paroki ini juga telah lama bergerak dalam karya
kesehatan dan karya pendidikan. Karya kesehatan, yakni Poliklinik St.
Fransiskus (dikelola para suster SFD). Karya pendidikan, antara lain: TK
St, Maria (dikelola para suster SFD); SD Don Bosco, SMp Bunda Mulia,
SMP St. Agustinus dan SMA Duijnhoven yang dikelola yayasan St. Yosef
Medan. Untuk mendukung sekolah ini didirikan asrama putera
yang dikelola oleh Kapusin provinsi Medan dan asrama puteri oleh para suster SFD.
Di Paroki Saribudolok terdapat tiga latar belakang budaya dominan,
yakni Simalungun, Karo dan Toba. Baik dari segi adat maupun bahasa,
ketiga budaya ini tetap saling mempengaruhi satu samalain. Akan tetapi
di pihak lain sebagai gereja, kita juga perlu menjaga dan mengembangkan
budaya Simalungun dalam terang iman Katolik. Jika budaya Simalungun
ingin dikembangkan, Pematang Raya menjadi pilihan tempat yang perlu
diperhatikan.
Setelah beberapa tahun terakhir, dengan jadinya Pematang Raya menjadi ibu kota Kabupaten
Simalungun, pemikiran ke arah Pemekaran Paroki Raya semakin berhembus
kencang. Situasi sekarang menunjukkan bahwa Kota pematang Raya terus
berkembang dan bertumbuh pesat. Kota Pematang Raya telah menjadi salah
satu pusat “pergerakan orang" di Simalungun; pergerakan ekonomi,
pemerintahan, politik, social budaya, pendidikan, informasi dan
sebagainya. Dengan belum hadimya Gereja Katolik sebagai paroki di Ibu
Kota Kabupaten Simahungun, kita tidak tahu informasi tentang pergerakan
berbagai hal yang ada di tengah masyarakat, misalnya informasi politik
dan pembangunan. Akhirnya kita diam sehingga tidak diperhitungkan dalam
pemerintahan.(AGM)
COBA2
BalasHapusSampai saat ini perkembangan itu masih memberikan kegembiraan untuk Gereja Katolik di Keuskupan Agung Medan dan tentu juga di Wilayah Simalungun. Namun terkadang ada juga muncul pertanyaan "Masihkah akan berlanjut perkembangan seperti itu ke masa depan mengingat kuatnya tantangan dari dunia sekular masa kini?" Apa kiranya yang mesti dibuat untuk mengantisipasi hal tersebut? Untuk menjawab ini perlu refleksi dan studi yang terus-menerus atas situasi hidup dan tingkat keimanan iman umat di Paroki St. Fransiskus Seribudolok.
BalasHapusMari kita dukung untuk Simalungun lebih baik.....
BalasHapushttps://bonapetruspurba.wordpress.com/