Suku Simalungun
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Batak Simalungun adalah salah sub Suku Bangsa Batak yang berada di provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India
Selatan. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan.
Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang
yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.
Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.
Asal-usul
Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi
sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal
dari luar Indonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang [1]:
- Gelombang pertama (Simalungun Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.
- Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih
menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4
Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke
daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir.
Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag
(cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera
Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke
Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.
Kini, di Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku
Simalungun hanya menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.
Kehidupan masyarakat Simalungun
Peta pembagian kecamatan Kabupaten Simalungun ke dalam Simalungun Atas dan Simalungun Bawah.[2][3]
Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung,
karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan
tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan
barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. "Marga" memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah jauh berbeda.
Sistem Politik
Pada masa sebelum Belanda masuk ke Simalungun, suku ini terbagi ke dalam 7 daerah yang terdiri dari 4 Kerajaan dan 3 Partuanan.[4]
Kerajaan tersebut adalah:
- Siantar (menandatangani surat tunduk pada belanda tanggal 23 Oktober 1889, SK No.25)
- Panei (Januari 1904, SK No.6)
- Dolok Silou
- Tanoh Djawa (8 Juni 1891, SK No.21)
Sedangkan Partuanan (dipimpin oleh seseorang yang bergelar "tuan") tersebut terdiri atas:
- Raya (Januari 1904, SK No.6)
- Purba
- Silimakuta
Kerajaan-kerajaan tersebut memerintah secara swaparaja. Setelah
Belanda datang maka ketiga Partuanan tersebut dijadikan sebagai Kerajaan
yang berdiri sendiri secara sah dan dipersatukan dalam Onderafdeeling Simalungun.
Tunduknya Kerajaan Siantar kepada Belanda
Dengan Besluit tanggal 24 April 1906 nomor 1 kemudian diperkuat lagi dengan Besluit
tanggal 22 Januari 1908 nomor 57, Raja Siantar Sang Naualuh dinyatakan
dijatuhkan dari tahtanya selaku Raja Siantar oleh pemerintah Hindia
Belanda. Selama menunggu Tuan Kodim dewasa (akil baligh),
pemerintahan kerajaan Siantar dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan yang
terdiri dari Tuan Torialam (Tuan Marihat) dan Tuan Riah Hata (Tuan
Sidamanik) dan diketuai oleh Kontelir Simalungun.
Setelah dibuangnya Raja Siantar Sang Naualuh dan Perdana Menterinya
Bah Bolak oleh Belanda pada tahun 1906 ke Bengkalis, maka sudah ratalah
kini jalan untuk memaksakan Dewan Kerajaan Siantar yang diketuai Kontelir Belanda itu dan dibentuklah Besluit tanggal 29 Juli 1907 nomor 254 untuk membuat Pernyataan Pendek (Korte Verklaring)
yang berisi takluknya Siantar kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dari
isi surat-surat dokumen Belanda tersirat bahwa diturunkannya Tuan Sang
Naualuh dari tahta Siantar dan dibuangnya ia bersama perdana menterinya
ke Bengkalis, adalah terutama karena latar belakang: Ia bersama hampir
seluruh orang-orang besar Kerajaan Siantar adalah anti penjajahan
Belanda; bahwa merembesnya propaganda Islam ke Simalungun khususnya dan
Tanah Batak umumnya tidaklah disenangi oleh penjajah Belanda.
Pada 16 Oktober 1907 Kerajaan Siantar dinyatakan tunduk kepada Belanda oleh Tuan Torialam dan Tuan Riah Hata, melalui suatu Verklaring (Surat Ikrar). Dalam butir satu dari Verklaring yang memakai aksara Arab Melayu dengan Bahasa Melayu dan aksara Latin dengan Bahasa Belanda itu, tertulis:
- Ten eerste: dat het landschap Siantar een gedeelte uitmaakt van
Nederlandsch Indie en derhalve staat onder de heerschappij van
Nederland.”
- (Pertama: bahwa wilayah Siantar merupakan bagian dari Hindia Belanda
dan karena itu berada di bawah kerajaan Belanda). Selain itu masih
ditambahkan pernyataan bahwa akan setia kepada Ratu Belanda dan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda.
Surat ikrar tersebut selengkapnya sebagai berikut:
SURAT IKRAR
Bahwa ini ikrar kami: Si Tori Alam , Tuan Marihat dan Si Ria Hata
Tuan Sidamanik. Yaitu : bersama masuk komisi pemerintahan jajahan negeri
Siantar mengaku tiga perkara yang tersebut di bawah ini , yaitu :
Pasal yang pertama.
Bermula ikrar kami bahwa sesungguhnya negeri Siantar jadi suatu
bahagian daripada Hindia Nederland , maka takluklah negeri Siantar itu
kepada kerajaan Belanda , maka wajiblah atas kami selama-lamanya
bersetia kepada Baginda Sri Maharaja Belanda dan kepada wakil baginda
yaitu Sri Paduka yang dipertuan besar Gubernur Jenderal Hindia Nederland
, maka oleh Sri Paduka yang dipertuan besar Gubernur dikurniakan kepada
kami jabatan pemerintahan di dalam Negeri Siantar.
Pasal yang kedua.
Maka mengakulah dan berjanjilah kami , bahwa kami tiada akan
membicarakan suatu apa dari pada ikwal kami dengan Raja - raja yang
asing , melainkan musuh Baginda Sri Maharaja itu musuh kami , begitu
juga sahabat Sri Maharaja Belanda itu Sahabat kami adanya.
Pasal yang ketiga.
Bahwa mengakulah dan berjanjilah kami , bahwa sesungguhnya segala
peraturan hal ikwal Siantar , baik yang telah diaturkan , baik yang akan
diikrarkan oleh atau dengan nama Baginda Sri Paduka yang dipertuan
besar Gubernur Jenderal Hindia Nederland atau wakilnya semua pengaturan
itu kami hendak menjalankan akan segala perintah yang diperintahkan
kepada kami , baik oleh Sri paduka yang dipertuan besar Gubernur
Jenderal baik oleh wakilnya , semua perintah itu kami hendak menurutkan
juga adanya. Demikianlah Ikrar yang telah kami mengaku dengan bersumpah
di Pematang Siantar pada enam belas Oktober 1907, dan tersurat tiga
helai yang sama bunyinya.
Si Tori Alam
Si Ria Hata ( Anggota dari komisi Kerajaan Siantar )
Disaksikan oleh Si Jure Lucan O'Brien , Controleur Simalungun. Ikrar ini disyahkan dan dikuatkan pada tanggal 22 Januari, 1908.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda
d.t.o
( V.Heutz )
Sejak Surat Ikrar Torialam dari Marihat dan Riah Hata dari Sidamanik
itu, Kerajaan Siantar akhirnya di bawah pengawasan Belanda. Belanda
kemudian menobatkan putra Sang Naualuh yang masih teramat muda dan bukan
dari permaisurinya, Tuan Riah Kadim, menjadi raja pengganti. Tuan Riah
Kadim yang masih polos itu kemudian diserahkan Belanda kepada Pendeta
Zending Guillaume di Purba. Pada Tahun 1916, Tuhan Riah Kadim diubah
namanya menjadi Waldemar Tuan Naga Huta dan diakui Belanda sebagai Raja.
Dengan Korte Verklaring, 16 Oktober 1907 tersebut, Belanda
juga membagi kerajaan Siantar menjadi 37 Perbapaan dan tuan Sauadim,
Damanik ke XV. Perbapaan dari Bandar diangkat Belanda menjadi Raja
Siantar yang berakhir sampai Revolusi Simalungun di tahun 1946.
Korte Verklaring
tersebut dituangkan dalam proses - Verbal / Berita Acara sebagai berikut:[5]
Pada hari ini tanggal 16 Oktober 1907 hadir di hadapan saya Jure Lucan O'Brien . Controleur Simalungun.
Op heden , den Zestienden october negentien honderd en zevend , voor mij , J.L.O'Brien , Controleur van Simeloengoen.
- Si Saoeadim , Toean Van Bandar
- Si Badjandin , Toean Van Bandar Poelau (salah 1 keturunannya adalah
Drs. Tuan Zulkarnain Damanik, MM, Bupati Simalungun periode 2005-2010)
- Si Kani , Toean Van Bandar Bajoe
- Si Djamin , pemangkoe Van Toean Negeri Bandar
- Si Mia , Toean Van Si Malangoe
- Si Kama , Roumah Suah
- Si Bisara , Nagodang
- Si Djommaihat , Toean Kahaha
- Si Djarainta , Toean Boentoe
- Si Djandioeroeng , Toean Dolok Siantar
- Si Silim , Toean Van Bandar Sakoeda
- Si Djontahali , Toean Van Mariah Bandar
- Si Rimmahala , Toean Van Naga Bandar
- Si Kadim , Toean Van Bandar Tonga
- Si Tongma , Bah Bolak Van Pematang Siantar
- Si Naman , Toean Van Lingga
- Si Djaha , Toean Van Bangoen
- Si Djibang , Toean Van Dolok Malela
- Si Djandiain , Toean Van Silo Bajoe
- Si Lampot , Toean Van Djorlang Hoeloean
- Si Djanji-arim , Toean Van Maligas Bandar
- Si Djadi , Toean Van Sakuda
- Si Radjawan , Toean Van Gunung Maligas
- Si Djaoelak , Toean Van Tamboen
- Si Tahan Batoe , Toean Van Si Polha
- Si Ria Kadi , Toean Van Manik Si Polha
- Si Ganjang , Toean Van Repa
- Si Djoinghata , Toean Van Pagar Batoe
- Si Djaingot , Toean Van Si Lampoeyang
- Si Djaoeroeng , Toean Van Gadjing
- Si Mahata , Toean anggi Van Sidapmanik
- Si Bandar , Toean Manik Hataran
- Si Takkang , Toean Van Tamboen Rea
- Si Rian , Toean Van Manik Maradja
- Si Marihat , Toean Van Perbalogan
- Si Pinggan , Toean Van Hoeta Bajoe
- Si Djoegmahita , Toean Van Manggoetoer
Dimana mereka sebagai para kepala kerajaan / perbapaan , dihadapan
saya telah menerangkan dan bersetuju dengan keterangan yang dibuat ini
hari oleh komisi kerajaan Siantar dengan kehadirannya atas sumpah dan
dikuatkan dalam ikrar ini. Demikian diperbuat ikrar ini berdasarkan
berita acara dengan tiga rangkap.
Pematang Siantar , 16 Oktober 1907.-
Controleur Simalungun.
d.t.o
(Jure Lucan O'Brien)
Partuanan
Selain 3 partuanan yang tersebut kemudian muncul beberapa partuanan lainnya yaitu antara lain:
- Parbalogan
- Tuan Parbalogan Op.Dja Saip Saragih Napitu, yang wilayahnya dari parmahanan hingga ke tigaras.
- Sipolha
- Semua Keturunan Raja Naposo Damanik:
- Si Tahan Batoe Toean Van Si Polha / Toean Laen / Nai Tukkup
- Salah satu keturunannya adalah Tuan Jahutar Damanik dan Tuan Humala
Sahkuda Damanik ( Hutabolon Sipolha ) orang tua dari: Tuan Djapurba
Damanik, Tuan Djabagus Damanik, Tuan Djabanten Damanik, mantan Bupati
Kabupaten Simalungun, Tuan Djahormat Damanik, Mora br.Damanik, Mayun br.
Damanik.
- Si Ria Kadi Toean Van Manik Si Polha
- Toean Gurasa Dolok Sumurung / Bandar Sipolha
- Toean Intan Pulo Bosar Sipolha
- Tuan Kalabosar (Dolok Maraja Sipolha)
- Tuan Paraloangin (Jambur Na Bolag Sipolha)
- Tuan Parangsangbosi (Paribuan Sipolha)
- Si Ria Kadi Toean Van Manik Si Polha / Toean Markadim / Nai Simin
- Keturunannya: Tuan Paraloangin Damanik, Tuan Parangsangbosi Damanik, Tuan Kalabosar Damanik
- Tuan Paraloangin Damanik (Tuan Jambur Na Bolag Sipolha)
- Lawei-nya yaitu Radja Israel Sinaga Prapat dari Parapat,
salah satu keturunannya adalah Tuan Labuhan Asmin Damanik (Tuan Jambur
Na Bolag berikutnya), yang keturunannya adalah Prof.DR SC Reynold Kamrol
Damanik (USU), Prof. DR. David Tumpal Damanik (USA), Cand.DR.Ec Daulat
Damanik MA. (Jerman).
- Tuan Parangsangbosi Damanik ( Tuan Paribuan Sipolha )
- Salah satu keturunannya adalah Brigjend. Pol. (Purn) Muller Damanik, SH (Mantan Rektor USI P.Siantar).
- Tuan Kalabosar Damanik ( Tuan Dolok Maraja Sipolha )
- Salah satu keturunannya adalah Ir. Syamsirun Damanik (mantan salah
satu Direktur Kementrian Pertanian RI) dan Drs. Pangsa Damanik.
- Toean Gurasa Dolok Sumurung / Bandar Sipolha
- Salah satu keturunannya Mayjen TNI (Purn) Pieter Damanik (Mantan
Dubes RI di Philipina), Ir. Djagunung Damanik, dan Revol Damanik.
- Sipintu Angin (tuan op.S.Saragih Turnip)
- Merupakan orang tua dari Saragih Ras yang hingga kini tugunya (tugu
Hoda Bottar) masih terlihat di perbatasan Panatapan Ds. Tigaras.
Partuanan-partuanan ini tidak pernah tunduk kepada pemerintahan
Belanda saat itu, di daerah dilakukan perlawanan perlawanan kecil secara
bergerilya.
Bahasa & Aksara
Suku Simalungun menggunakan Bahasa Simalungun (bahasa simalungun: hata/sahap Simalungun)
sebagai bahasa Ibu. Derasnya pengaruh dari suku-suku di sekitarnya
mengakibatkan beberapa bagian Suku Simalungun menggunakan bahasa Melayu,
Karo, Batak, dan sebagainya. Penggunaan Bahasa Batak sebagian besar
disebabkan penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil
RMG yang menyebarkan agama Kristen pada Suku Ini.
Aksara yang digunakan suku Simalungun disebut aksara Surat Sisapuluhsiah.[6][7][8]
Kepercayaan
Bila diselidiki lebih dalam suku Simalungun memiliki berbagai
kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari
"Datu" (dukun) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga Dewa yang disebut Naibata, yaitu Naibata di atas (dilambangkan dengan warna Putih), Naibata di tengah (dilambangkan dengan warna Merah), dan Naibata di bawah (dilambangkan dengan warna Hitam).
3 warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam)
mendominasi berbagai ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan
rumahnya.
Orang Simalungun percaya bahwa manusia dikirim ke dunia oleh naibata dan dilengkapi dengan Sinumbah
yang dapat juga menetap di dalam berbagai benda, seperti alat-alat
dapur dan sebagainya, sehingga benda-benda tersebut harus disembah.
Orang Simalungun menyebut roh orang mati sebagai Simagot. Baik
Sinumbah maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan sehingga
mereka akan memperoleh berbagai keuntungan dari kedua sesembahan
tersebut.[9]
Patung Sang Budha menunggang Gajah koleksi Museum Simalungun, yang menunjukkan pengaruh ajaran Budha pada Masyarakat Simalungun.
Ajaran Hindu dan Budha juga pernah memengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti dengan peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang menggambarkan makna Trimurti (Hindu) dan Sang Buddha yang menunggangi Gajah (Budha).
Marga
Harungguan Bolon
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR[10], yaitu:
Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).
Keempat raja itu adalah[11]:
Raja Nagur bermarga Damanik
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).
Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.
Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba, Simalungun.
Raja Banua Purba bermarga Purba
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.
Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sinaga
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penyebab Gempa dan Tanah Longsor.
Marga-marga perbauran
Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menimbulkan marga-marga baru.
Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun
tetapi kadang merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun,
seperti Lingga, Manurung, Butar-butar dan Sirait.
Perkerabatan Simalungun
Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentu partuturan (perkerabatan) di Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal-usul anda)?"
Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih).
Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena
seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang
erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon”
(permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh
Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar
yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri
Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri
Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.
Adapun Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:[12]
- Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.
- Tutur Holmouan / Kelompok
- Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun
- Tutur Natipak / Kehormatan
- Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.
Pakaian Adat
Kain Adat Simalungun disebut Hiou. Penutup kepala lelaki disebut Gotong,
penutup kepala wanita disebut Bulang, sedangkan yang kain yang
disandang ataupun kain samping disebut Suri-suri.
Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kain Ulos
(disebut Uis di suku Karo). Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada
kain khas serupa Ulos yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya.
Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung
"kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta
memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa
penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan
kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya.[13]
Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain Api dan Matahari),
namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena
bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat
membakar (seperti api). Seperti suku lain di rumpun Batak, Simalungun
memiliki kebiasaan "mambere hiou" (memberikan ulos) yang salah satunya
melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Hiou.
Hiou dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup
kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup
punggung dan lain-lain.
Hiou dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis
yang berbeda-beda, misalnya Hiou penutup kepala wanita disebut
suri-suri, Hiou penutup badan bagian bawah bagi wanita misalnya
ragipanei, atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut
jabit. Hiou dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan
kekerabatan Simalungun yang disebut tolu sahundulan, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (abit).
Menurut Muhar Omtatok, Budayawan Simalungun, awalnya Gotong (Penutup
Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap (
Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun
kemudian Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari
trend penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik,
dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang
Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik.
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ Herman Purba Tambak, SIB 3 September 2006, hlm. 9
- ^ Laporan
Daerah Tingkat II Simalungun, tahun 1963, P. Siantar, 1963, hlm. 2.
Dimuat dalam: R.W. Liddle, Suku Simalungun: An Ethnic Group in Search of
Representation, dalam Indonesia, Vol. 3, (Apr., 1967), hlm. 1-28.
- ^ Cornell South East Asia Program: William R. Liddle, Suku Simalungun: An Ethnic Group in Search of Representation.
- ^ J.P. Siboro (ed), 60 tahun Indjil Kristus di Simalungun, Pimpinan Pusat GKPS, P. Siantar, 1963, hlm. 7.
- ^ Jahutar
Damanik, NPV: 2.029.293, Raja Sang Naualuh , Sejarah Perjuangan
Kebangkitan Bangsa Indonesia , Medan, medio 1981 cetak ulang tahun 1987
- ^ 80 Tahun Djariaman Damanik, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 335-336.
- ^ J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993, hlm.164.
- ^ F. Marodjahan Purba, Undang-undang ni Surat Simalungun, Kalangan Sendiri, Pamatang Raya, 1974, hlm.1-58.
- ^ De Resident der Oostkust op Sumatra, Nota van toelichting betreffende de Simeloengoensche landschappen Siantar, Panei, Tanah Djawa en Raja, Medan, 13 Mei 1909, hal.3-4 dalam Apulman Saragih, Gema Sinalsal, Skripsi STT Jakarta, 1979, hlm.12.
- ^ The Simalungun Protestant Church in Indonesia, a brief history, Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 1983, hlm. 6
- ^ Pdt Juandaha Raya P Dasuha, STh, SIB(Perekat Identitas Sosial Budaya Simalungun) 22 Oktober 2006
- ^ Jaumbang Garingging, Palar Girsang, Adat Simalungun, Medan, 1975
- ^ Biranul Anas / Jonny Purba, Busana Tradisional Batak